-->
no fucking license

Search This Blog

Archive

Bookmark

The Last One

Rumah Badrul tampak hening malam itu. Lampu padam. Cahaya lilin tak mampu mengusir gelap bahkan apinya pun tegak, tak berani menari. Tak ada angin berhembus atau suara jangkrik. Yang terdengar hanya dengusan napasnya di dalam kamar. Aroma kembang dan kemenyan menyeruap sementara Ibu Badrul bersenandung tembang Pucung membuat malam makin pekat dengan pilu menyayat.

Di dalam kamar, ia hanya berdua dengan isterinya. Ia mendandani isterinya dengan sangat cantik malam itu. Seperti layaknya pengantin baru. Dikenakannya busana pengantin kebaya putih dan jarit maron.  Ia semprot tubuh isterinya dengan aroma seribu bunga. Isterinya tak bergerak. Tak bersuara.


Badrul dan istrinya


Malam itu, ia ingin tidur tepat di sebelah isterinya seperti malam pertama. Setelah 21 tahun pernikahannya, ia sangat jarang menemani tidur sang isteri. Itulah kesempatan terakhir baginya.

Ia sangat ingin menyentuh kembali tangan isterinya. Ia sangat ingin menyentuh bibirnya. Ia sungguh sangat ingin menyentuh keseluruhannya dengan kehangatan yang membakar walaupun kulit di sekujur isterinya sudah sangat dingin.

"Kamu serius ingin tidur dengan isterimu, Nak?"

"Iya Mak. Aku serius!"

Badrul sengaja menyembunyikan kematian isterinya kepada warga. Ia juga tidak menguburkannya cepat-cepat agar ia bisa mengenang malam pertama sekaligus terakhir bersama isterinya.

Yah, isteri Badrul, Rukmi, meninggal Kamis selepas Subuh. Ia meninggalkan empat anak yang semua butuh dibersamai. Arum kelas 4 SD, Roni kelas 2 SD, Rini masih PAUD, dan Eki masih merah, baru lahir.

"Andai Eki tidak ada, pasti isteriku masih hidup!" Saat berbincang dengan Emak, Badrul menangis.

"Semua kehendak Tuhan, Nak. Kecelakaan dan sakit yang membawa kita pada kematian itu cuma skenario Tuhan agar Izrail tidak jadi kambing hitam! Kita semua pasti mati, Nak! Cuma menunggu giliran! Kelahiran Eki jangan sampai membuatmu buruk sangka dan tidak adil. Semua harus diterima. Semua harus disayangi secara adil!"

“Kita cuma makhluk. Apa yang kita punya adalah yang Ia pinjamkan. Ketika semua pinjaman itu diambilNya kembali, kita bisa apa?” Lanjut sang emak.

"Iya Mak, aku tahu!"

"Bukan cuma tahu, tapi kamu harus paham!"

Hening. Badrul tak berkata-kata lagi. Emaknya juga kembali memutar tembakau-sirih di mulutnya. Sesekali meludah merah sambil melanjutkan tembang Pucung. Terdengar raungan anjing sangat pilu malam itu.

 

Angkara gung neng angga anggung gumulung,

gegolonganira,

Triloka lekeri kongsi,

Yen den umbar ambabar dadi rubeda.

 

Artinya:

Kejahatan besar di dalam tubuh kuat menggelora,

menyatu dengan diri,

menjangkau hingga tiga dunia,

apabila dibiarkan akan berkembang menjadi bencana.

 

Tembang Pucung itu dilantunkan berulang-ulang. Sang emak ingin memberikan isyarat kepada puteranya bahwa kejahatan dan cinta itu beda tipis. Tidak boleh ada kejahatan mengatasnamakan cinta atau sebaliknya. Sang emak paham betul bahwa setelah Pucung akan terjadi Megatruh. Pucung bagi orang Jawa adalah tembang memrihatini kematian sedangkan Megatruh adalah berakhirnya kebersamaan ruh dengan badan.

Sang emak paham bahwa pesannya dalam tembang tersebut tidak akan pernah sampai ke telinga anaknya apalagi hatinya. Dengan deraian air mata, ia hanya mengajak mesra Tuhan, siapa tahu Ia menghentikan kejahatan atas nama cinta yang dilakukan puteranya.

Anjing melolong kian melengking. Cicak berdecak tak henti. Ayam terdiam. Angin menusuk hingga ke dalam tulang. Malam itu, cita-cita Badrul tidur di sebelah isterinya terkabul. Malam itu kesempatannya terakhir. Badrul memiringkan tubuh isterinya. Ia juga mengambil posisi tidur miring biar saling berhadapan wajahnya dengan wajah isterinya. Badrul menciumi isterinya, seperti baru pernah bertemu. Ia peluk erat, seperti tak ingin ditinggalkan. Air matanya membanjiri wajah dan dada isterinya.

Dalam terpejam panjang dan tubuhnya yang dingin, dari sudut mata isteri Badrul mengalir deras pula air mata. Seperti sedang menyesali keadaan cintanya yang tragis. Makin tampak di mata Badrul isterinya belum mati.

Pada senyumnya yang basah dengan air mata, ia paksakan bahagia malam itu dengan sekuat tenaga, walaupun duri pilu melukai hatinya lebih dalam.  Ia membuka beberapa peniti dari kebaya isterinya. Kemudian, .... lampu kamar pun padam. Malam kian senyap, dengus napas makin kencang terdengar jelas.

"Isteriku, maafkan aku!" Hanya suara itu yang terdengar bersamaan dengan lolong anjing yang makin enggan berhenti. Menjelang terbit fajar, Badrul terkabar meninggal di atas jasad isterinya. Keduanya dalam keadaan mata masih berlinang hingga saat dikuburkan.

Post a Comment

Post a Comment

This blog tries to share the idea of ​​prioritizing needs over wants. If you have any feedback, please post a comment. Thank you for your visit. I pray for those who visit and/or comment, if they are Muslims, they will go on the Hajj, become rich and enter heaven. Amen!