Rumah Badrul tampak hening malam itu. Lampu padam. Cahaya lilin
tak mampu mengusir gelap bahkan apinya pun tegak, tak berani menari. Tak ada
angin berhembus atau suara jangkrik. Yang terdengar hanya dengusan napasnya di
dalam kamar. Aroma kembang dan kemenyan menyeruap sementara Ibu Badrul
bersenandung tembang Pucung membuat
malam makin pekat dengan pilu menyayat.
Di dalam kamar, ia hanya berdua dengan isterinya. Ia mendandani
isterinya dengan sangat cantik malam itu. Seperti layaknya pengantin baru.
Dikenakannya busana pengantin kebaya putih dan jarit maron. Ia semprot
tubuh isterinya dengan aroma seribu bunga. Isterinya tak bergerak. Tak
bersuara.
Malam itu, ia ingin tidur tepat di sebelah isterinya seperti malam
pertama. Setelah 21 tahun pernikahannya, ia sangat jarang menemani tidur sang
isteri. Itulah kesempatan terakhir baginya.
Ia sangat ingin menyentuh kembali tangan isterinya. Ia sangat
ingin menyentuh bibirnya. Ia sungguh sangat ingin menyentuh keseluruhannya
dengan kehangatan yang membakar walaupun kulit di sekujur isterinya sudah
sangat dingin.
"Kamu serius ingin tidur dengan isterimu, Nak?"
"Iya Mak. Aku serius!"
Badrul sengaja menyembunyikan kematian isterinya kepada warga. Ia
juga tidak menguburkannya cepat-cepat agar ia bisa mengenang malam pertama sekaligus
terakhir bersama isterinya.
Yah, isteri Badrul, Rukmi, meninggal Kamis selepas Subuh. Ia meninggalkan
empat anak yang semua butuh dibersamai. Arum kelas 4 SD, Roni kelas 2 SD, Rini
masih PAUD, dan Eki masih merah, baru lahir.
"Andai Eki tidak ada, pasti isteriku masih hidup!" Saat
berbincang dengan Emak, Badrul menangis.
"Semua kehendak Tuhan, Nak. Kecelakaan dan sakit yang membawa kita pada kematian itu cuma
skenario Tuhan agar Izrail tidak jadi kambing hitam! Kita semua pasti mati,
Nak! Cuma menunggu giliran! Kelahiran Eki jangan sampai membuatmu buruk sangka
dan tidak adil. Semua harus diterima. Semua harus disayangi secara adil!"
“Kita cuma makhluk. Apa yang kita punya adalah yang Ia pinjamkan.
Ketika semua pinjaman itu diambilNya kembali, kita bisa apa?” Lanjut sang emak.
"Iya Mak, aku tahu!"
"Bukan cuma tahu, tapi kamu harus paham!"
Hening. Badrul tak berkata-kata lagi. Emaknya juga kembali memutar
tembakau-sirih di mulutnya. Sesekali meludah merah sambil melanjutkan
tembang Pucung. Terdengar raungan anjing sangat pilu malam itu.
Angkara gung
neng angga anggung gumulung,
gegolonganira,
Triloka
lekeri kongsi,
Yen den umbar
ambabar dadi rubeda.
Artinya:
Kejahatan besar di dalam tubuh kuat menggelora,
menyatu dengan diri,
menjangkau hingga tiga dunia,
apabila dibiarkan akan berkembang menjadi bencana.
Tembang Pucung itu dilantunkan berulang-ulang. Sang emak ingin
memberikan isyarat kepada puteranya bahwa kejahatan dan cinta itu beda tipis.
Tidak boleh ada kejahatan mengatasnamakan cinta atau sebaliknya. Sang emak
paham betul bahwa setelah Pucung akan
terjadi Megatruh. Pucung bagi orang Jawa adalah tembang
memrihatini kematian sedangkan Megatruh adalah
berakhirnya kebersamaan ruh dengan badan.
Sang emak paham bahwa pesannya dalam tembang tersebut tidak akan
pernah sampai ke telinga anaknya apalagi hatinya. Dengan deraian air mata, ia
hanya mengajak mesra Tuhan, siapa tahu Ia menghentikan kejahatan atas nama
cinta yang dilakukan puteranya.
Anjing melolong kian melengking. Cicak berdecak tak henti. Ayam
terdiam. Angin menusuk hingga ke dalam tulang. Malam itu, cita-cita Badrul
tidur di sebelah isterinya terkabul. Malam itu kesempatannya terakhir. Badrul
memiringkan tubuh isterinya. Ia juga mengambil posisi tidur miring biar
saling berhadapan wajahnya dengan wajah isterinya. Badrul menciumi isterinya,
seperti baru pernah bertemu. Ia peluk erat, seperti tak ingin ditinggalkan. Air
matanya membanjiri wajah dan dada isterinya.
Dalam terpejam panjang dan tubuhnya yang dingin, dari sudut mata
isteri Badrul mengalir deras pula air mata. Seperti sedang menyesali keadaan
cintanya yang tragis. Makin tampak di mata Badrul isterinya belum mati.
Pada senyumnya yang basah dengan air mata, ia paksakan bahagia
malam itu dengan sekuat tenaga, walaupun duri pilu melukai hatinya lebih
dalam. Ia membuka beberapa peniti dari
kebaya isterinya. Kemudian, .... lampu kamar pun padam. Malam kian senyap,
dengus napas makin kencang terdengar jelas.
"Isteriku, maafkan aku!" Hanya suara itu yang
terdengar bersamaan dengan lolong anjing yang makin enggan berhenti. Menjelang
terbit fajar, Badrul terkabar meninggal di atas jasad isterinya. Keduanya dalam
keadaan mata masih berlinang hingga saat dikuburkan.
Post a Comment