Hari istimewa bagi guru (seharusnya) terutama bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (kemendikbud ristek) tanggal 2 Mei 2023 sungguh terasa sangat sepi. Tidak ada momen atau event yang istimewa baik itu digelar pada tingkat kabupaten atau negara. Biasa saja, seperti bukan hal dan hari yang istimewa.
Sama seperti halnya hari raya Idul Fitri 1444 H, sepertinya juga sepi. Mungkin karena sudah tergantikan teknologi komunikasi sehingga merasa sudah cukup memasang status atau berkirim pesan secara online.
Hari Pendidikan Nasional |
Sedikit mentafakuri kondisi pendidikan nasional saat ini, semampang bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, masih ada bentuk-bentuk peringatan seremonial seperti upacara atau mengenakan batik Korpri. Hanya sebatas tanda bahwa hari ini adalah hari Pendidikan Nasional. Secara esensial, bertahun-tahun belum muncul hal baru. Yang ada yang lama dimodifikasi menjadi seolah baru.
Kurikulum Merdeka yang kemudian diputuskan sebagai Kurikulum Nasional juga seolah hanya lipstik politik semata. Semua berbau proyek sehingga salah satu programnya juga terkesan proyek (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
Kemanakah sebenarnya arah Pendidikan Nasional kita? Apakah perubahan kurikulum seiring dengan perubahan politik? Bukankah untuk mengetahui output (hasil) pendidikan dari kurikulum yang digunakan dibutuhkan waktu setidaknya dua puluh tahun? Dengan perubahan kurikulum setiap pergantian menteri pendidikan, kita tidak dapat mengukur tingkat keberhasilan sebuah kurikulum?
Teringat dulu masa pemerintahan presiden Suharto, pada masa itu ada yang namanya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Roda pemerintahan masa itu mendasarkan semua kebijakannya pada GBHN. Ada pula nama Repelita, Pelita, dan sebagainya. Artinya pada masa itu, ada pedoman pelaksanaan penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bisa digunakan untuk jangka pendek dan panjang.
Seandainya, kurikulum nasional ada pedoman semirip dengan GBHN, maka kemungkinan dapat terukur outputnya dapat dibuktikan dengan baik.Jika dalam satu masa pemerintahan berganti menteri pendidikannya dua kali, dengan perubahan-perubahan yang tanpa pedoman umum layaknya GBHN, atau bahkan sampai mengganti kurikulum dua kali atau lebih, ketika terjadi malpraktik dalam pendidikan, siapa yang bertanggung jawab? Para menteri atau menteri ini bisa punya alibi untuk tidak bertanggung jawab.
Perubahan kurikulum, seringnya terjadi perubahan kurikulum, tampak seperti kebingungan arah. Terbukti beberapa kali terjadi ketidaksinkronan antara buku teks dengan tujuan pembelajaran sehingga buku tersebut harus diganti atau ditarik.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih terkesan coba-coba. Mirip dengan iklan minyak kayu putih atau obat semprot antinyamuk. Hahaha.
Demikin sekilas, renungan mentafakuri Hari Pendidikan Nasional. Selebihnya dapat dilanjutkan di bagian komentar. Terima kasih.
Post a Comment